Selasa, 03 Maret 2009

EQ vs IQ: Mengapa Orang Cerdas Gagal?

Mengapa orang yang lebih sosial berhasil sedangkan yang IQ-nya sedang

banyak yang gagal? Pertama-tama kita perlu pahami dulu bahwa kecerdasan
emosi (EQ) bukanlah lawan dari kosien kecerdasan (IQ). EQ justeru
melengkapi IQ seperti halnya kecerdasan akademik dan ketrampilan
kognitif. Penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya kondisi emosi
mempengaruhi fungsi otak dan kecepatan kerjanya (Cryer dalam Kemper).
Penelitian bahkan juga menunjukkan bahwa kemampuan intelektual Albert
Einstein yang luar biasa itu mungkin berhubungan dengan bagian otak
yang mendukung fungsi psikologis, yang disebut amygdala. Meskipun
demikian, EQ dan IQ berbeda dalam hal mempelajari dan mengembangkannya.
IQ merupakan potensi genetik yang terbentuk saat lahir dan menjadi
mantap pada usia tertentu saat pra-pubertas, dan sesudah itu tidak
dapat lagi dikembangkan atau ditingkatkan. Sebaliknya, EQ bisa
dipelajari, dikembangkan dan ditingkatkan pada segala umur. Penelitian
justeru menunjukkan bahwa kemampuan kita untuk mempelajari EQ meningkat
dengan bertambahnya usia. Perbedaan lain, IQ merupakan kemampuan ambang
yang hanya bisa menunjukkan jalan bagi karir kita atau membuat kita
bekerja di bidang tertentu; sedangkan EQ berjalan di jalan itu dan
mempromosikan kita di bidang itu. Oleh karena itu, keseimbangan antara
IQ dan EQ merupakan unsur penting dalam keberhasilan manajerial. Sampai
tingkat tertentu, IQ mendorong kinerja produktif; tapi kompetensi
berbasis-IQ dianggap "kemampuan ambang", artinya kemampuan yang
diperlukan untuk pekerjaan rata-rata. Sebaliknya, kompetensi dan
ketrampilan berbasis-EQ jauh lebih efektif, terutama pada tingkat
organisasi yang lebih tinggi ketika perbedaan IQ dapat diabaikan. Dalam
studi perbandingan antara orang yang kinerjanya cemerlang dan yang
biasa-biasa saja pada organisasi tingkat tinggi, perbedaannya 85%
disebabkan oleh kompetensi berbasis-EQ, bukan IQ. Dr Goleman mengatakan
bahwa walaupun organisasinya berbeda, kebutuhannya berbeda, ternyata EQ
menyumbangkan 80-90% untuk memprediksikan keberhasilan dalam organisasi
secara umum. Kami merujuk kepada studi kasus yang dilakukan oleh Dr.
Goleman dan dua peneliti EQ terkenal lain untuk menganalisis bagaimana
kompetensi EQ berkontribusi bagi laba yang didapatkan sebuah firma
akuntansi yang besar. Pertama, IQ dan EQ para partisipan diuji dan
dianalisis secara mendalam; kemudian mereka diorganisasi ke dalam
beberapa kelompok kerja, dan masing-masing kelompok diberi pelatihan
mengenai satu bentuk kompetensi EQ, seperti manajemen-diri dan
ketrampilan sosial; sebagai kontrol adalah satu kelompok yang terdiri
atas orang-orang ber-IQ tinggi. Ketika dilakukan evaluasi nilai-tambah
ekonomi yang diberikan kompetensi EQ dan IQ, hasilnya sangat
mencengangkan. Kelompok dengan ketrampilan sosial tinggi menghasilkan
skor peningkatan laba 110% , sementara yang dibekali manajemen-diri
mencatat peningkatan laba 390%, peningkatan $ 1.465.000 per tahun.
Sebaliknya, kelompok dengan kemampuan kognitif dan analitik tinggi,
yang mencerminkan IQ, hanya menambah laba 50%; artinya, IQ memang
meningkatkan kinerja, tapi secara terbatas karena hanya merupakan
kemampuan ambang. Kompetensi berbasis EQ jelas jauh lebih mendorong
kinerja. Penulis Mohamed El-Kamony adalah mahasiswa yunior American
University di Cairo yang mengambil bidang utama Administrasi Bisnis
dengan konsentrasi ganda dalam pemasaran dan keuangan.
Daftar Pustaka
EQ vs IQ: Mengapa Orang Cerdas Gagal? oleh Mohamed El-Kamony

Tidak ada komentar: